
Tetapi, suatu hal kenyataannya terjadi di luar perdiksi kami berdua. Karier Mas Yudha sebagai reporter mengwajibkannya bertemu dengan risiko yang sulit. Saya ingat benar waktu itu suamiku bentrok dengan seorang petinggi yang persoalan KKN nya dibedah suamiku.
Cersex Pemerkosaan – Satu minggu sehabis bentrok, suamiku diLenaaya belasan orang tidak dikenali, beragam saat sehabis tinggalkan rumah.
Tidak kronis bisa dibuktikan, tetapi cedera disekujur badan Mas Yudha kenyataannya punya pengaruh pada perform seksualnya. Ya, semenjak pengLenaayaan itu, Mas Yudha teratur tidak berhasil meperbuat pekerjaannya sebagai suami. Semula kami berpikir itu imbas shok yang dirasakan karena pengLenaayaan, dan dokter yang menangLena Mas Yudha juga berpikir semacam itu. Tetapi hampir satu tahun berakhir, keadaan Mas Yudha masih tetap tetap sama, justru dapat disebut terus kronis. Bahkan juga saat ini, Mas Yudha sudah mulai malas coba meperbuat pekerjaannya memberbagi kepentingan biologis padaku.
“Saya takut kalian justru bersedih sayang,” ucapnya dengan lihat bersedih sebuahmalam.
Sebagai istri, walaupun teraniaya, saya coba untuk selalu setia dan bersi kokoh dengan keadaan tersebut. Walau kadangkala ada ketakutan jika saya tidak akan punyai anak sampai tua kelak. Lamban tetapi tentu, pada akhirnya saya dan Mas Yudha dapat menepiskan semua ketakutan itu, dan memulai terbenam dengan aktivitas kami masing-masing.
Untuk hapus rasa sepi kami, saya dan Mas Yudha mengaryakan 4 orang pesuruh di rumah kami. Dua wLenata, Ijah berusia 22 tahun, dan Minah berusia 34 tahun, kupekerjakan sebagai pesuruh rumah tangga dan penjaga gerai serba ada. Dan dua lelaki, Maman berusia 40 tahun, dan Jaka berusia 19 tahun, kupekerjakan sebagai tukang kebun dan penjaga gerai serba ada juga. Buat mereka juga, kami membuat 2 buah kamar kembali, dan situasi rumah tak lagi sepi semenjak mereka berempat ikut ada di rumah kami semenjak lima bulan kemarin.
Malam itu entahlah apa yang telah ada dibenak Mas Yudha. Yang jelas suamiku itu bawa belasan keping VCD porno dan ajakku nikmati tontonan erotis itu bersama. Saat itu jam menunjuk angka 11.30 malam, dan kami berdua sudah tiduran di tempat tidur kamar, sedangkan episode porno dilayar TV sudah mulai tampil.
Berkesan terang bagaimana gadis Cina dalam VCD itu mendesah dan mengeluh saat lidah lelaki cina pasangan bermainnya menjilat-jilati bibir-bibir vaginanya, berkesan terang bagaimana rintih kepuasan ke-2 nya saat kelamin mereka berpadu dalam senggama. Tidak dapat kupungkiri, tuntunan darahku cepat terpicu dan kehausanku akan kepentingan itu terus semakin menjadi.
Mas Yudha masih tetap termenung di sampingku, tapi tiba-tiba tangannya mulai merayap dan meraba-raba tahapan badan sensitifku.
“Sayang, mungkin saya tidak dapat memberimu kepuasan semacam itu. Tetapi saya akan berusaha membahagiakanmu,” ucapnya sekalian mulai menciumi sekujur badanku.
Satu-satu baju kami terbuka sampai pada akhirnya kami sangat bugil.
Astaga, penis suamiku tetap layu walau episode di TV sudah membakar gairah kami berdua. Sebagai istri saya memiliki inisiatif mengulum dan menjilat-jilati penis Mas Yudha yang layu, tetapi tidak ada juga peralihan sampai saya capek sendiri.
Pada akhirnya Mas Yudha bangun dan ambil suatu hal dari kembali almari kami, penis karet dengan vibrator elektips. Alat itu baru dibelinya, karena saat lagi ini saya teratur menampik menggunakan alat tolong semacam itu. Saya teratur berpikiran jika gunakan alat itu sama juga saya meperbuatnya sama orang lain, tidak dengan suamiku.
Tetapi entahlah, malam itu saya sangat tidak sanggup meredam birahiku. Mungkin imbas tontonan porno yang kami cicipi bersama tersebut.
“Ohh Mass ngghhss,” saya mulai mendesis saat Mas Yudha menguak bibir vaginaku yang sudah banjir dengan penis bikinan tersebut.
Saya tak lagi memerhatikan suamiku, dan mataku tertuju pada monitor TV, sekalian memikirkan akulah yang ditiduri pria di TV tersebut.
Vibrator penis karet yang sudah seutuhnya masuk keliang vaginaku dinasibkan Mas Yudha, getarannya mulai membuat menikmatan tertentu di wilayah klitorisku. Saya mengelinjang sekalian mendesah nikmat sampai pada akhirnya datang pada pucuk kepuasan. Saya orgasme, orgasme semu oleh alat bikinan pabrik. Malam itu saya berbahagia, tapi batinku menangis.
“Maafkan saya sayang,” cuma itu yang terkata dari bibir Mas Yudha.
“Tidak apa Mas, saya sudah benar-benar senang kok,” balasku sekalian mengecupnya.
Semenjak nikmati getaran asyik dari vibrator penis karet malam itu, kelihatannya ada yang berbeda pada diriku. Saya jadi benar-benar agresif dan teratur ingin meperbuat hubungan seks dengan alat tersebut. Terkadang, saat Mas Yudha tidak sedang di rumah, saya meperbuatnya sendiri sampai capai pucuk kepuasanku. Saya tahu itu salah, tapi saya tidak dapat menampik kemauanku yang teratur menggebu untuk tercukupi, sedangkan saya ingin
masih tetap setia pada suamiku.
Siang itu pelanggan gerai serba ada kami cukup cukup banyak yang tiba. Mahfum tanggal muda umumnya pelanggan gerai yang rerata karyawan negeri beli kepentingan setiap hari di gerai kami. Saya dan Ijah repot melayLena konsumen, justru Minah yang seharusnya bekerja didapur turut membantu kami. Jarak gerai dan rumah kami cuma berselat tembok, tembok itu juga ada pintu khususnya yang menyambungkan gerai dan rumah, menjadi tidak sulit mondar-mandir kios-rumah alias kebalikannya rumah-kios.
“Sang Jaka ke mana Jah? kok tidak terlihat dari barusan?,” tanyaku pada Ijah sekalian hitung bayaran pelanggan.
“Tidak tahu tuch bu, barusan sich ucapnya mules, dianya kembali mencret bu, sakit di perut,” jawab Ijah.
“Sakit kok tidak katakan?, ya sudah kalian menjaga dahulu kiosnya sama Minah ya, Bunda ingin saksikan Jaka,” sehabis gerai sepi, aku juga tinggalkan Ijah dan Minah untuk menyaksikan Jaka.
Kamar pembantuku pas ada di belakang gerai, satu kamar Ijah dan Minah, satu kembali kamar Jaka dan Maman. Saya segera ke arah kamar Jaka, dan saat saya membuka pintunya berkesan Jaka sedang terbujur dengan muka pucat dan meringis-ringis sekalian memegang perutnya seperti meredam sakit.
“Kamu sakit Jaka?, ke Puskesmas saja ya mumpung masih tetap membuka,” kataku terus masuk ke kamar pembantuku.
“Eh.. ibu.., tidak apa kok bu, hanya sakit di perut biasa. Barusan sudah meminum obat dikasih Ijah,” Jaka menjelaskan sekalian bangun dan duduk diranjangnya.
Jaka adalah pemuda santun dari daerah yang sama dengan tiga pembantuku yang lain. Mereka kuambil dari kampungku , kebenaran keluarga kami sudah sama-sama ketahui dikampung. Saya sebenarnya sama dengan mereka, orang daerah. Namun saya cukup untung kawin dengan Mas Yudha, anak orang kaya yang profesinya masak.
Saya lantas duduk di pinggir tempat tidur Jaka sekalian menyeka dahinya.
“Yang mana sakit Jak?” tanyaku sambil menyeka perutnya.
“Sudah baikan kok bu, hanya masih tetap lemas,” jawabannya.
Rasa peduliku pada Jaka mungkin sebuahkesalahan, masalahnya demikian menyeka perut Jaka, saya malah melihat sebuahbagian di bawah perut Jaka. Sebuah benda yang tersembul dibalik celana karet komprangnya, astaga punya Jaka yang kusadari tentu tidak berpersoalan seperti punya suamiku. Saya menjadi jemu dan hebat tanganku, lantas tinggalkan Jaka sendiri di kamarnya.
Malamnya, lebih kurang jam 09.00 sehabis makan malam, saya kembali lagi ke kamar beberapa pesuruh untuk menyaksikan keadaan Jaka. Terang-terangan saya benar-benar takut jika pembantuku ada yang sakit, apalagi buatku mereka sudah seperti famili sendiri.
Tetapi malam itu saya menjadi terkejut dan tersentak. Saya merasakan bukan Minah dan Ijah alias Jaka dan Maman yang sekamar. Tapi Jaka sekamar dengan Ijah dan Maman dengan Minah. Ternyata, mereka keblinger dan menyalahi ketentuan yang kutetapkan.
Hal tersebut saya tahu saat dekat kamar Minah, saya dengar suara rintih dan desah ciri khas orang yang bersetubuh. Saat kuintip kenyataannya Maman yang duda sedang menindih Minah yang janda. Saya lantas berpindah menintip kamar Jaka melalui lubang jendela. Astaga, di dalam kamar itu saya menyaksikan Ijah sudah 1/2 telanjang dan Jaka sedang mengulum buah dada Ijah. Saya akan geram dan membentak mereka, tapi tidak paham mengapa saya justru seperti terdiam dengan episode yang kulihat tersebut.
“Iiihh gelii Jak.., nakal kalian ya,” perkataan genit Ijah kedengar terang olehku saat Jaka mulai menjilat-jilati tahapan perutnya.
“Geli sedikit tidak apa kan, Kang Maman dan Bi Minah pun demikian kok triknya,” balas Jaka.
Ke-2 nya mulai melepaskan bajunya sampai bugil. Sementara saya terus terdiam menyaksikan episode mereka dari kembali lubang jendela. Jaka yang memiliki tubuh kurus dan cukup singkat ternyata memiliki penis yang cukup Ijah yang sudah telanjang bundar tiduran diranjang posisi kaki menjuntai kelantai, dan Jaka ambil posisi berdiri. Jaka selanjutnya bawa dua kaki Ijah menjadi posisi Ijah mengangkang, lantas perlahan-lahan Jaka memasukkan penisnya ke vagina Ijah.
“Nghhss Jak.. ohh,” Ijah mulai mendesis dan mengeluh saat Jaka memompa badannya.
Ke-2 nya lantas terbenam dalam gairah birahi, sedangkan saya yang sudah tidak kuat kembali selekasnya lari ke kamarku dan memberikan kepuasan diri penis karet sialan tersebut.
Hingga kemudian Mas Yudha pulang tengah malam dan memberikan kepuasanku lagi dengan alat sialan itu kembali.
Semenjak peristiwa itu, saya terus tidak mengerti dengan tingkah laku beberapa pembantuku tersebut.
Tetapi semakin lama kupikir lumrah saja, karena Maman bisa dibuktikan duda dan Minah janda, lantas Jaka dan Ijah mungkin sudah merajut cinta semenjak di daerah dahulu.
Apalagi pandangan pada mereka di rumahku tidak begitu ketat. Tapi tidak dapat kupungkiri , semenjak menyaksikan peristiwa itu, saya terus rasakan haus untuk meperbuat sex. Bolehkah buat kemauan itu penting kuredam dengan penis karet kembali, dan kembali.
Hari itu Mas Yudha pamit akan liputan luar kota saat lagi 3 hari, dan 3 hari itu juga saya wajib kesepian di rumahku. Hari awal berjalan seperti umumnya walau tanpa Mas Yudha. Tetapi hari ke-2 semenjak pagi saya merasa tidak kurang sedap tubuh, menjadi gerai cuma dijaga beberapa pembantuku.
“Bu.., jika ingin agar saya pijatin agar sedap tubuhnya,” suara Ijah menawariku selesai makan malam.
Malam itu menyengaja kuajak empat pembantuku itu makan malam bersama-sama di rumahku dan mereka bebas menonton TV di rumah maapabilannya ini.
“Iya dech Jah, pijitin saya dikamar ya..,” ujarku sekalian berjalan ke arah kamar.
Sementara Minah, Maman, dan Jaka masih tetap menonton TV di ruang tengah. Sampai di kamarku, Ijah langsung memijiti semua tubuhku dari kaki sampai kepala. Pijitan Ijah bisa dibuktikan sedap hingga-sampai saya lelap dan tidur.
Saya tidak paham berapakah lama saya sebelumnya sempat tertidur, tapi saat bangun badanku rasanya sudah fresh kembali. Namun, astaga, saya pada keadaan terlilit. Ke-2 tangan dan kakiku terlilit pada setiap faktor tempat tidur, dan mulutku tertutup kuat plester lakban. Cuma mataku yang terbuka dan menyaksikan kamar pada keadaan jelas, dan saya sendiri pada keadaan bugil tanpa satu helai benang juga.
“Selamat malam nyonya sayang,” suara Maman mendadak mengagetkanku.
Lelaki memiliki tubuh gempal itu sudah berdiri pas di depanku di tempat tidur tahapan kakiku. Matanya berbinar liar melihat mengarah badanku yang terlilit, telentang, dan telanjang. Sialan, apa ingin Maman ini, saya ingin berteriak tetapi mulutku tertutup lakban.
” nyonya, malam hari ini akulah yang akan memberikan kepuasanmu. Tuankan tidak sedang ada,” Maman masih tetap berdiri di hadapanku sekalian melepas bajunya sendiri.
Badan Maman masih tetap berkesan atletis pada usia 40 tahun, dengan sektor dada dan otot perut kotak-kotak mengisyaratkan tenaga yang kuat, apalagi kulitnya yang cukup hitam membuat kesan-kesan kuat terang berkesan.
Maman sekarang ini tinggal gunakan CD saja, dan perlahan-lahan bergerak kearahku yang telentang diranjang. Saya tahu apakah yang sesaat lagi akan terjadi, Maman akan meniduriku, memerkosaku, tetapi juga memberikan kepuasan yang selam ini saya mencari.
“Eemphh.. mmffhh,” saya berusaha bergerak bentrokan saat Maman mulai sentuh badanku.
Tetapi sia-sia, ikatan tali jemuran pada kaki dan tanganku benar-benar kuat, Maman pada akhirnya bebas meraba-raba badanku.
“Tenang nyonya, sabar ya.., wah mulus sekali nyonya ini,” Maman terus meraba-raba dan permainkan jemari kasarnya di sekujur badanku.
Saya cuma dapat pasrah saat Maman mulai berLena menciumi puting susuku dan mengisap-isapnya. Kumis tebal dan mulut monyongnya seperti akan menyantaphabis susu ukuran 36B punyaku. Aku juga tidak sanggup bentrokan saat jeri-jari kasar Maman sentuh bibir-bibir vaginaku, dan kurasakan gelora birahiku mulaimenjalar saat jari-jari itu mulai menelusup pada lubang bibir vaginaku dan mainkan, menekan-nekan klitorisku.
“Mmffhh..,” walau saya mulai nikmati sentuhan nakal Maman, tapi saya wajib tunjukkan jika saya tidak sukai diperperbuat demikian, minimal untuk menjaga martabatkusebagai maapabilannya.
Saya mulai bentrokan kembali, tetapi sia-sia. Sekarang ini Maman tidak cuma bermain jemari,bibirnya mulai turun mengarah perut dan terus keselangkanganku yang sudah basah.Oh.., tidak, bibir Maman mulai sentuh bibir vaginaku. Kumisnya yang tebal menyengaja digesek pada klotorisku, membuat saya menggeliat. Tiap pergerakan perlawananku membuat Maman terus bergairah menjilat-jilati vaginaku, dan faktor itu membuat kepuasan yang terbentuk terus tidak bisa kuelakan.
Pada akhirnya pergerakan pinggulku terus selaras dengan jilatan kasan lidah dan kumis Maman.
“Bagaimana nyonya? Sedap tidak?,” bertanya Maman sekalian melihatku.
Saya tentu saja melotot padanya. Tapi Maman kelihatannya sudah memahami ciri-ciri wLenata diterpa birahi, karena walau mataku melotot geram, vaginaku yang sudah basah tidak dapat sembunyikan ciri-ciri gairahku. Maman meneruskan aktivitasnya menjilat-jilati vaginaku. Desakan-desakan bibir Maman pada tahapan penting punyaku membuat rasa nikmat tertentu menyebar dan mengumpul pada tahapan vagina, pinggul, bokong, sampai ujungnya kaki dan ujun rambutku. Mamang terus teratur menjilat-jilati klitorisku, sampai pada akhirnya saya tidak dapat membendung tekanan dari dalam vaginaku.
“Mmmffhhpp..,” ini hari saya bobol, saya orgasme dengan tindakan Maman tersebut.
Mamanmenghentikan jilatannya, dan melihat mukaku, dia mengetahui saya sudah sampai pucuk pertama. Maman berdiri kembali dan melepaskan CD lusuh kepunyaannya. Sekarang
di depanku berdiri seorang lelaki dengan penis yang normal dan ereksi keseluruhan, faktor yang sudah satu tahun lebih tidak sebelumnya sempat kusaksikan. Penis punya pembantuku itu siap menghujLena vaginaku dengan kepuasan.
“Nyonya.., sudah kepalang basah. saya mengetahui nyonya berbahagia kok, faktanya sampai keluar airnya. Jangan berteriak ya nyah,” sebut Maman sekalian melepaskan plester lakban dari mulut.
Kiniplester sudah lepas dan mulutku bebas bernada, tetapi saya tidak menjelaskan-kataapalagi berteriak. Badanku lemas dan setiap jengkalnya merasa kangen sentuhan Maman seperti barusan.
“Ohh..,uhh.. adduuhh..,” cuma itu yang keluar mulutku saat Maman menjilat-jilati lagi vaginaku.
Tangan Maman yang cekatan meremas-remas susuku, pinggulku, dan belahan bokongku diremas gaungs. Terang-terangan waktu itu saya sudah tidak sabar menunggu hujaman penis Maman yang tabah ke vaginaku, saya kangen ditiduri lelaki, bukan hanya vibrator sialan tersebut.
Maman berpindah posisi ambil posisi berlutut pas di selangkanganku. Digenggamnya penisnya dan ditujukan ke vaginaku yang sudah sangat kuyup. Maman menggesek-gesekkan penisnya di atas vaginaku, oh.., saya sangat tidak sabar menunggu senjata Maman tersebut.
“Uhh Man.. ampunhh.. saya nyerah.. mmffhh,” saya pada akhirnya ucapkan itu dengan mata terpejam.
Aku pikir ingin menampik juga sia-sia karena posisiku sulit, apalagi saya ingin agar dosa itu selekasnya berakhir dan usai. Ucapanku membuat udara segar untuk Maman, saat sebelum meniduriku penuh, Maman buka ikatan tali di kaki dan tanganku.
“Mari sayang, sekarang saya puaskan kalian elok,” celoteh Maman sekalian menindih lagi badan bebasku.
Dalam posisi itu Maman masih tetap terus memancing gairahku yang sudah benar-benar pucuk, penisnya cuma digesek ujungnya saja pada vaginaku membuat saya yang memburu dengan pinggul turun naik. Sehabis tidak mampu meredam gairah yang masih sama, Maman pada akhirnya menusukkan utuh penisnya di dalam vaginaku.
“Ouhhggff..ah Kang Maman..,” bibirku mulai menceracau saat Maman memompakan penisnya mundur-maju dalam vaginaku.
Tangan dan kakiku yang sudah terlepas dari ikatan bukanlah menggerakkan badan Maman menjauhiku, tapi malah merengkuh dan meremas remas dada kekar Maman. Penis Maman berasa penuhi lubang senggamaku dan membuat rasa nikmat yang saat lagi ini tak lagi kurasakan dari Mas Yudha.
“Ohh nyonya, uennaakk sekali vaginamu nyahh.. oh,” Maman memacu badanku dengan irama yang cepat dan masih tetap, dan saya menyeimbangi pergerakan Maman. Sekarang ini saya keseluruhan melayLena kepentingan sex Maman sekalian raih kepentingan seksku.
Sampai menit ke-2 puluh permainan kami, saya rasakan semua sarafku mengumpul disatu titik di antara bibir vagina dengan klitorisku. Lantas beragam detik selanjutnya semua otot pada tahapan itu berasa melafalkanng.
“Auuhhff..mmffhh, enghh.. ohh,” kurasakan kontraksi yang spektakuler pada vaginaku.
“Iyyaahh.. nyaahh.. ohh nyaahh,” Maman menggeram hebat dengan badan kejang di atas badanku, kurasakan semprotan spermanya masuk sampai kedinding rahimku.
Maman rebah di atas badanku. Keringat kami bersatu baur dan kedutan-kedutan halus kelamin kami masih tetap berasa kadang-kadang, sampai pada akhirnya Maman rebah disamping kananku.
Ya Tuhan, saya sudah mencemari keyakinan Mas Yudha. Saya menitikan air mata selesai raih kepuasanku dari Maman.
“Maafkan saya nyonya, saya khilaf waktu saksikan nyonya tidur dan pintu tidak ditutup,” Maman buka berbicara.
Dari sana saya tahu, setelah dipijat Ijah, saya tertidur dan Ijah tidak tutup pintu kamarku. Sehabis terlarut saat Ijah, Minah dan Jaka tidur, Maman akan mengamankankan pintu rumah tapi gagal karena menyaksikan posisi tidurku dengan daster terkuak. Maman menjadi khilaf dan punya niat memerkosaku.
“Jika saya ingin dikeluarkan, saya cuma meminta uang belanja untuk pulang daerah nyah, saya tidak meminta apapun kembali,” papar Maman mengiba.
“Kamu tidak salah Man, saya yang keliru saya khilaf. Ya sudah kalian berpindah kamar sana dan jangan katakan siapa saja ya, kira saja barusan itu hadiah dariku untuk kamu,” kataku sekalian memerintah Maman pergi dari kamarku.
Hari ke-3 saat Mas Yudha liputan luar kota, saya menjadi termenung sendiri dalam kamar semenjak pagi. Masalah gerai saya percayai seutuhnya pada pembantuku, sedangkan saya cuma pikirkan peristiwa malam tempo hari dengan Maman. Aku pikir saya disetubuhi dan dipijak-pijak harga diriku, tetapi aku pikir kembali aku juga menikmatinya, justru wajib mengucapkan terima kasih pada Maman yang sudah menyembuhkan rinduku saat lagi ini untuk bersenggama sama lelaki sebenarnya.
Semenjak peristiwa dengan Maman itu, saya seperti temukan kenasiban baru. Jika saya perlu kepuasan semacam itu saya akan terbuktigil Maman melayLenaku. Tentu saja semua tanpa setahu Mas Yudha, suamiku tersayang.
3 bulan semenjak sering meperbuat jalinan gelap dengan Maman, tukang kebunku, saya merasa irama nasibku jadi normal. Walau saya sadar sudah mencemari keyakinan Mas Yudha suamiku, tetapi saya kan wanita normal yang penting kepuasan yang mustahil kudapat dari Mas Yudha kembali.
Sore itu hujan turun di kota M, sedangkan saya, Ijah, dan Jaka masih tetap layani pelanggan gerai serba ada punyaku. Mas Yudha belum pulang, umumnya pulang tengah malam, Minah repot masak di dapur, dan Maman paling akhir barusan kusaksikan bersihkan taman ada di belakang rumahku.
“Aduh.. Jah, lanjutin dahulu ya kerjanya, saya ingin saksikan Minah di dapur. Barusan lupa bapak meminta buatkan telur asin,” saya tiba-tiba ingat Mas Yudha pesan telur payau kegemarannya untuk makan malam.
Kutinggalkan Ijah dan Jaka layani pelanggan kiosku, dan saya berlari kecil melalui pintu pemisah kios-rumah ke arah dapurku.
“Minn.. Minaahh..,” sampai di dapur Minah yang kucari sudah tidak ada, cuma ada sayur lodeh yang mendidih di atas kompor hidup.
“Astaga Minah kok asal-asalan sich.., ke mana kembali sang Minah uhh,” selekasnya kuangkat panci berisi lodeh, kompor kupadamkan dan seterusnya cari Minah.
Semula aku pikir Minah kembali pipis alias bab di WC belakang, menjadi saya mengambil langkah ke sana. Tetapi belum sampai ke WC pesuruh itu, saya dengar suara rintihan ciri khas orang sedang bersenggama. Ups.., cara kuhentikan di pinggir letukan tembok, kulihat panorama yang membuat darahku berhembus.
Maman sedang asyik memacu bokongnya dengan penis besar yang tertanam di vagina Minah, Maman berdiri, dan Minah nungging berdasar pada psupaya kayu di taman belakang rumahku. Mereka terlihat cepat-cepat dan tidak telanjang, daster Minah diangkat naik dan CDnya di turunkan hanya lutut, dan celana Maman melorot hanya lutut juga, tetapi pakaian mereka masih tetap dipasang. Walau hujan cukup deras mereka tidak basah karena di taman belakang rumahku Mas Yudha menyengaja membuat tempat duduk teduh untuk habiskan jika ada waktu rileks kami.
“Ohh Kaang.. sedap.. aahhsst,” Minah menjerit ketahan, orgasme sampai pinggulnya tergetar luar biasa.
“Ouhh iyaahh Minnhh.. ssiip,” badan Maman juga melafalkanng susul orgasme Minah, tentu sperma Maman cukup banyak menyirami vagina Minah, pikirku.
Sialan, ternyata mereka curi kesempatan karena hujan lebat. Ehm, mungkin sedap ya bersenggama waktu hujan lebat. Saat sebelum mereka membereskan bajunya, saya segera kembali lagi ke dapur dan duduk di atas bangku dapur.
“Ehh, Bunda kok di sini?, ehh anu Bu.., saya habis pipis.., tetapi sayurnya tidak hangus kan Bu?,” Minah grogi melihatku berada di dapur.
“Iya.. iya, tetapi lain waktu jangan asal-asalan donk, untung saya ke dapur. Jika tidak kan dapat kebakaran rumah ini,” kataku pada Minah, Minah manggut-manggut.
Malamnya, hujan masih tetap lebat. Tau-tau telephone berdering.
“Halo sayang, maaf ya.. saya tidak dapat pulang. Nginep di dalam kantor ada pekerjaan tambahan yang wajib selesai malam hari ini,” demikian pokok berbicara Mas Yudha saat telephone kuangkat.
Aneh, kewajiban sebagai istri saya bersedih suami tidak pulang. Tetapi kok saya justru berbahagia ya? Justru pikiranku ingin selekasnya menjumpai Maman dan melepaskan kangenku pada penisnya yang hitam besar tersebut.
Jam 10 malam, saya menyengaja kenakan daster tipis tanpa CD dan bra, nikmati jadwal selingan TV di ruangan tengah rumahku, sejuk fresh rasanya. Hujan masih tetap lebat.
“Izin Bu, ingin ikut-ikutan menonton,” suara Jaka membuatku sedikit kaget.
“Eh.. kalian Jak, sang Ijah mana?,” saya duduk di atas sofa, Jaka mengambil duduk di lantai semeter di depanku.
“Anu Bu, sudah tidur, kecapean mungkin. Semua sudah tidur, saya saja belum mengantuk Bu”
“Wah.., walau sebenarnya saya ingin dipijitin, cape nih, pegel,” saya memijit-mijit sendiri kakiku, badanku menunduk.
Jaka memerhatikanku tidak berkedip-kedip, dasterku tersingkap dalam posisi itu, buah dadaku tentu berkesan Jaka.
“Kamu dapat mijitin Jak?,” pertanyaanku membuat Jaka terkejut, tetapi masih tetap melihatku.
“Ah Ibu, saya tidak berani Bu, nantinya disangka jahil,” Jaka malu, pemuda itu bisa dibuktikan teratur pemalu, tetapi saya tahu saat lagi ini dianya seringkali curi pandang nikmati cantik badanku.
“Kok begitu? jika dapat tolong saya dipijitin ya Jak. Di sini saja disofa agar kalian tidak disebut jahil,” saya rebah dengan posisi menelungkup. Jaka
ragu tetapi selanjutnya dekatiku. Sofa ruangan tengah cukup lebar ukuran, menjadi Jaka kusuruh duduk di pinggir sofa dan memijitku.
“Izin loh Bu,” Jaka mulai memijiti betisku, tangannya dingin membuat pijitannya berasa asyik di betisku.
“Hmmh, sedap tanganmu ya Jak, belajar mijit di mana sich,”
“Nggakkok Bu, hanya biasa mijitin Kang Maman saja jika dianya cape,”
“Cukup naik donk Jak, pahanya cukup pegel,” perintahku disongsong Jaka semangat.
Paha dan betisku dipijit turun naik, kiri kanan. Hujan terus lebat di luar, pijitan Jaka mulai asyik kurasakan. Terkadang tangannya berasa mengelus dan membelai betis dan pahaku, tidak lagi memijit. Tetapi kubiarkan saja laganya itu, kunikmati saja tangan nakalnya tersebut.
“Tubuhnya ingin dipijit Bu?,”
“Iya lah Jak, sekarang punggungku pijitin gih,” Jaka memijit punggungku masih tetap terhalang daster, tetapi Jaka tahu, saya tidak gunakan bra karena tali bra tidak berada di punggungku.
“Sesaat Jak, agar mudah kalian mijit,” saya bangun dan turunkan dasterku hanya dada, tutupi susuku saja, lantas rebah kembali telungkup. Sekarang ini tangan Jaka memijit punggungku dan sentuh secara langsung kulit mulusku, terkadang tangannya ambil kesempatan ke sisi badan sentuh samping pangkal susuku.
“Ohh di sana Jak, pegel tuch, ouhh asshh.. sedap Jak,” suaraku menyengaja mendesis, kelihatannya Jaka sudah dibuai gairah. Pijitannya sudah berbeda elusan dan remasan dipunggungku, sekarang ini justru turun ke pinggang, sentuh bokongku, saya percaya Jaka juga tahu saya tidak gunakan CD.
“Jak?,”
“Ehh.. saya Bu,” suara Jaka cukup serak meredam gairahnya.
“Pijitin terus sampai saya tidur ya. Jika saya ketiduran nantinya kalian kunci pintu belakang jika sudah menonton TV ya, agar saya tidur di sini,” saya menyengaja berbicara sekalian terpejam, Jaka mengiraku sudah mengantuk betul.
Beragam menit sehabis itu saya menyengaja tidak bernada kembali dengan mata terpejam seperti tidur. Jaka masih tetap mijitin saya, tetapi sekarang seutuhnya cuma meremas dan meraba-raba badanku. Sesaat saya membalikin tubuh dan masih tetap berpura-pura tertidur, posisiku menjadi mengarah ke atas, daster tahapan depanku turun sampai setengah susuku terlihat terang. Jaka terkejut, kusaksikan dari celah mata pejamku, dia stop mijit tetapi masih tetap duduk di sisi sofa dan melihati badanku. Saya tahu Jaka tersangsang dengan posisi badanku yang melawan.
Sesaat saja Jaka mematung, sehabis itu kurasakan tangannya mengelus-elus pangkal susuku yang tersibak. Perlahan-lahan sekali, dianya takut saya bangun tuch. Sehabis percaya saya tidur Jaka lebih berani menguak dasterku lebih terbuka sampai susuku bebas tidak terhalang.
“Ohh.. elok sekali kalian Bu..,” Jaka berbisik sendiri sekalian mengelus-elus susuku.
“Ahhss Mas Yud..,” saya berpura-pura ngigau.
“Iya sayang.. ini Mas Yudha,” Jaka konyol menjawab ngigauku, tentu dia mulai berpikiran ini kesempatan emas.
Betul saja sangkaanku, sehabis igauan itu didengarkan, Jaka tidak sangsi memperlancar gempurannya. Tangannya yang kasar mulai meremas-remas susuku, bibirnya ikut juga terjun mencium dan menjilat-jilati puting susuku.
“Ouuhh Mass.., ngghh.. gelii Mas aahhff..,” masih tetap pura pura tidur saya merengkuh badan kurus Jaka, dia terus semangat menciumi susuku. Sekarang ini tangan Jaka sudah merayap ke bawah, pahaku diseka-usapnya.
Vaginaku mulai membasah, sentuhan jari Jaka sudah berani nakal membelai-belai bibir vaginaku. Udara dingin dan suara hujan membuat gairahku membumbung, Jaka juga semakin riang nikmati badan mulus maapabilannya ini. Mendadak Jaka hentikan aktivitasnya, kulirik dari celah mataku, Jaka mempreteli bajunya sendiri sampai bugil. Wah walau memiliki tubuh kurus dan singkat , tetapi penis Jaka cukup , lebih panjang dari punyai Maman walau juga lebih langsing.
Saya masih tetap berpura-pura tidur, Jaka bawa dasterku dan bebas melototi vaginaku yang bisa dibuktikan tidak ber CD. Dielus kembali vaginaku dengan jarinya, sekalian dianya naikn ke sofa tempatku tiduran.
“Duhhss, Mass.. Yud, cepeetaan donk.. Lenaaaa tidak tahaan.. aahhmmpp,” belumlah usai ceracauku, Jaka sudah menyumpal bibirku dengan mulutnya.
Dihisapnya semua bibirku dengan gairah, dan penisnya yang tegang mulai tenggelam dalam vaginaku. Bleess.. jleepp.., Jaka mulai menggoyangku dengan gairahnya.
“Eiihh.. huuss.. eenaakk sekallii Lena memekmu enaak..,” Jaka terus memacuku.
“Aahh.. ohh..,” saya mulai merasa nikmat yang masih sama menjalari badanku, pinggulku kubuat selaras kocokan penis Jaka.
Tetapi ternyata pergerakanku itu salah, karena membuat gairah Jaka tidak teratasi. Baru lima menit pergerakan pinggul kuperbuat, badan Jaka sudah melafalkanng kaku di atas badanku.
“Ahh.. uueennaakk.. sayaang,” crot.. crot.. Jaka orgasme karena gairah yang tinggi sekali imbas goyangan dan suara erotisku. Jelas saja saya bersedih, saya belum juga apapun, lalu saya bangun dan buka mata melotot.
“Jaka.., apa-apaan kalian ini hah..,” sergahku berpura-pura geram.
Belum saya teruskan kata-kataku, Jaka keluarkan sebilah pisau dari pakaiannya di lantai.
“Jangan berteriak Bu,” pisau tajam itu ditodongkan ke arahku, saya takut.
“Saat ini diam, dan Bunda wajib nungging.. mari nungging. Di sini Bu ceppaat,” teriak Jaka sekalian menunjuk sisi sofa.
Bacaan Seks Dewasa Akhir nya Nikmati Persetubuhan
Hujan masih tetap lebat, saya mau tak mau nungging dengan 2 tangan menekan tepi Sofa, Jaka berdiri pas dibelakangku.
“Nach.., akan kubuat Bunda lebih sedap dari tadi. Kira saja saya suamimu Bu,” Jaka membelai-belai pantatku, lantas jongkok pas di belahan pantatku.
Tangannya menguak bongkahan pantatku menjadi vaginaku terang berkesan olehnya, sehabis itu, astaga, Jaka mulai menjilat-jilati vaginaku.
“Ahh.. sstt Jakk.. aouhh gelii Jak,” saya tidak dapat kembali bersandiwara, jilatan Jaka dalam posisiku nungging demikian berasa sangat nikmat.
Dengar desahku Jaka semakin berani, sekarang ini pisau ditangannya sudah dilepaskan dan dia menjilat-jilati lagi vitalku tersebut. Cukup lama Jaka menciumi dan menjilat-jilati vaginaku, sampai kurasa suatu hal mulai mengumpul di paha, bokong dan bibir vaginaku tersebut. Saya nyaris orgasme saat Jaka hentikan jilatannya. Semula saya ingin geram kembali karena orgasmeku gagal, tetapi sehabis jilatan itu lepas, kenyataannya penis Jaka sudah kembali tegang dan secara langsung menyerang ke lubang nikmatku.
“Ahh, enaak ya Buu,” Jaka memacu badanku dari belakang, mundur-maju.
Saya terlena, posisiku nyaris kalah, kedutan kecil mulai terbentuk pada dinding vaginaku. Jaka percepat goyangnya, sampai sepuluh menit selanjutnya saya terus merasa ingin bobol. Posisi nunggingku sudah utuh, tangan tak lagi menyokong badan. Sekarang ini saya seperti tiarap di Sofa dengan kaki berlutut di lantai, Jaka turut jongkok, saya serupa betina yang di tiduri jantannya.
“Ouughh.. Jakk.., akuu.. ammpuun..,” pertahananku bobol, kurasakan semua sendiku nyeri, dan kedutan pada dinding vaginaku menjepit-jepit penis Jaka yang masih tetap aktif.
Tetapi sesaat berlalu, Jaka juga sampai pucuknya, dan tegang kaku di atas punggungku.
“Ahh Nyah.. ohh,” Jaka masih tetap menidihku, dan posisi kami masih tetap seperti pasangan jantan dan betina yang senggama.
Kurasakan kedutan kelamin kami bersatu sampai pada akhirnya lenyap perlahan-lahan, saya mengantuk dan terpejam, saya tertidur nyenyak dibuai kepuasan dari penis pembantuku. Paginya saya tersadarkan saat Minah menggoyang-goyang bahuku.
“Nyah bangun Nyah.., kok Nyonya telanjang di luar ini sich?,” suara Minah bersatu bingung melihatku pada keadaan bugil tertidur di atas sofa tengah.
“Ehh Min, oh.. saya ketiduran tadi malam nih,” saya selekasnya bangun dan bergerak ke kamarku sekalian gunakan daster kembali, Jaka sudah tidak ada entahlah di mana ia.
Siangnya saya baru mengetahui dari Ijah jika Jaka kabur. Dianya hanya katakan ke Ijah jika dianya punyai masalah sama preman di pasar tempat saya beli barang dagangan untuk gerai punyaku. Saya tahu Jaka takut peristiwa tadi malam sampai kedengar Mas Yudha, dia berpikir dia sudah memerkosaku. Kasihan Jaka, seharusnya saya jujur jika aku juga ingin begituan, apalagi saya yang memancing birahinya.
Tetapi demikianlah, saya gengsi sebagai maapabilan relah ditiduri pembantu. Belum juga usai pikirkan Jaka yang kabur, sorenya Maman dan Minah menjumpaiku. Mas Yudha pulang cepat sore itu, dan mereka berdua, Maman dan Minah berbicara dengan kami di ruangan tamu.
“Anu Pak Yudha, kami salah pak.., anu pak,” Maman gagap.
“Ada apakah Pak Maman berbicara saja,” dorong Mas Yudha.
Semula saya yang grogi jangan-jangan Maman ingin bedah rahasia sex kami saat lagi ini, tetapi sehabis itu saya lega.
“Kami ingin pulang daerah pak, sang Minah hamil, kami wajib nikah,” kesaksian Maman membuatku cukup kaget sekalian bersedih, apalagi Jaka sudah pergi .
Terpikir olehku beberapa hari yang akan sepi ketika nafsu seksku sedang tinggi-tingginya belakangan ini.
Secara singkat sore itu Mas Yudha mengizinkan mereka pulang daerah sekalian bayar pesangon kerja mereka. Semenjak waktu itu di dalam rumah cuma ada saya, Ijah dan Mas Yudha yang teratur pulang tengah malam. Walau dua pesuruh lelaki itu sudah tidak ada tetapi masa lalu dengan mereka teratur kukenang, khususnya saat saya birahi sendiri dalam sepi, bersama penis Mas Yudha yang tidak dapat berdiri kembali.
Semenjak keperginya Jaka, Maman dan Minah, tiga pembantuku, saya menjadi kesepian dan cuma Ijah salah satu teman setiaku di rumah. Tetapi kulalui saja kenasiban itu dengan sibukan diri mengurusi gerai kami, tentu saja ditolong Ijah.
Siang itu tidak sebagaimana umumnya Mas Yudha pulang ke rumah, tetapi dia tidak sendiri. Bersama Mas Yudha turun dari mobil seorang lelaki bertampang bule.
“Lena.., perkenalkan ini Ray, teman cameraman TV Australia,” kata Mas Yudha menunjuk lelaki di sebelahnya, kami juga bersalaman.
Sehabis kubuatkan minuman dingin dan duduk bertiga di ruang tamu, Mas Yudha mulai bercerita siapa Ray. Ray adalah pria dari Australia berusia 28 tahun yang sudah 3 tahun ini ada di Jakarta. Ray bekerja dalam suatu stasiun TV Australia sebagai cameramen untuk wartawan yang berada di Jakarta. Kebenaran Ray sudah satu minggu ini berada di kota M untuk mengulas sebuah moment internasional yang diadakan di kota M.
“Ray akan bermalam di sini tempo hari hari, ingin lihat-lihat kota M, kasihan jika wajib nginap di hotel. Toh saya sempat liputan bersama dianya di Jakarta,” Mas Yudha mengulas.